Ibadah
adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang
disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak
disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Agar dapat
diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan
benar kecuali dengan adanya dua syarat:
• Ikhlas
karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
• Ittiba’,
sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Syarat yang
pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia
mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik
kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah,
karena ia menuntut wajib-nya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan
meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
112. (tidak
demikian) bahkan Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia
berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S :Al
Baqarah, 112)
Aslama
wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahua muhsin
(berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Syaikhul
Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali
hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia
syari’at-kan, tidak dengan bid’ah.”
Sebagaimana
Allah berfirman.
Artinya
:110. Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang
Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadat kepada Tuhannya". (Q. Al Kahfi, 110)
Hal yang
demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa
ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.
Pada yang
pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan
ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta
mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan
bagai-mana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.
Bila ada
orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah
tersebut?”
Jawabnya
adalah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya
Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah
kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah
SWT berfirman.
Artinya : 2.
sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al Quran) dengan (membawa)
kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. (Q.S :
039. Az Zumar. 2)
2. Sesungguhnya
Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan melarang). Hak Tasyri’
adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan
cara yang diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.
3. Sesungguhnya
Allah telah menyempurnakan agama bagi kita Maka, orang yang membuat tata cara
ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh
bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).
4. Dan
sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan
kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri
dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam ke-hidupan
manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian
akan meliputi ke-hidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan,
padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang
diajarkan Allah dan Rasul-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar